Cinta, satu kata
berjuta makna yang pastinya dirasakan oleh setiap insan. Walaupun dirasakan
oleh semua makhluk hidup, tapi nyatanya cinta pada setiap orang berbeda-beda
dalam merasakannya. Setiap orang mempunyai caranya sendiri dalam memperlakukan orang
yang dicintai dan disayanginya. Yang pasti, cinta itu nyata adanya.
Berbicara tentang
cinta, merupakan suatu hal yang wajar untuk dialami karena rasa sayang dan
cinta merupakan kebutuhan manusia. Namun sejak disekolah kita tidak pernah
diajarkan bagaimana cara menghadapi perasaan itu yang padahal mengelilingi
fikiran kita dan mempengaruhi setiap tindakan kita ketika sedang merasakannya. Siap
ataupun belum siap, cinta bisa datang secara tiba-tiba.
Maka dari itu, pada
topik kali ini saya ingin membahas tentang pandangan saya terhadap cinta.
Dikarenakan walaupun bermain dengan perasaan, kita harus dapat menyadarinya
agar lebih tepat dalam mengambil tindakan pada diri kita. Saya pernah mendengar
kutipan dari Lex dePraxis:
“Melogikakan hubungan cinta, tidak akan mengurangi
esensi dari cinta itu sendiri.”
Walaupun sebuah
perasaan cinta yang tidak bisa ditebak, namun dengan melogikakan perasaan tersebut
maka kita tidak akan mengurangi rasa daripada cintanya itu sendiri. Jadi dengan
menggunakan logika, saya rasa merupakan hal yang penting untuk mengatur diri
kita agar tidak salah dalam mengambil setiap tindakan maupun masa depan.
Sebenarnya definisi
cinta menurut saya itu sangat sederhana, yaitu rasa sayang yang dirasakan oleh
kedua insan untuk saling bahagia. Tapi terkadang, cinta itu sering sekali
dirumitkan dengan rasa kecemburuan, menguasai, dan keterikatan emosi.
Misal, saya pernah tersadar
ketika saya mengidam-idamkan seseorang. Dan saya mempertahankan rasa suka saya
sampai waktu yang lama dan menjaganya. Namun pada suatu waktu, orang tersebut
berpaling pada orang lain. Dan saya menganggap diri saya sudah setia terhadap
orang yang saya idamkan tersebut.
Saya tersadar bahwa
perasaan cinta saya itu bukanlah sebuah kesetiaan, namun terobsesi. Mungkin
rasa suka yang kita alami terhadap seseorang merupakan bayangan dalam fikiran
saja yang selalu mengidealkan orang tersebut untuk menjadi pasangan kita kelak
tanpa memikirkan hal-hal lain yang akan terjadi sebenarnya. Istilah cinta itu
buta mungkin berlaku karena harapan kita yang sudah terpaku pada sosok ideal
tersebut.
Menyukai seseorang
memang bukan suatu kesalahan, namun bagaimana kita menyikapi perasaan suka
itulah yang terkadang membuatnya menjadi salah. Saya tersadar, dari penduduk dunia
yang berjumlah sekitar 7 miliar orang ini. 6,99 miliarnya juga tidak
mengharapkan sosok yang kita idam-idamkan. Kita hanya fokus pada satu orang
tersebut sampai lupa pada hal lain yang lebih penting.
Saya merasa mungkin
memang belum waktunya untuk berpasangan karena masih ada hal panjang yang harus
saya jalani untuk kehidupan diri sendiri. Namun, dengan pasangan terkadang kita
menjadi jauh lebih semangat untuk menjalani kehidupan dan selalu ada drama
didalamnya.
Seperti apa yang
pernah dikutip oleh Pramoedya Ananta Toer:
“Cinta itu indah,
begitu juga kebinasaan yang membututinya. Orang harus berani, menanggung akibatnya.”
Terkadang saya juga
selalu terfikirkan untuk berpasangan ketika saya menyukai seseorang. Dan saya
pernah menuliskan pada buku catatan pribadi saya tentang “Kenapa saya harus
berpacaran?” lalu membaginya kedalam dua sisi positif dan negatifnya ketika saya
berpacaran.
Setelah menulisnya, perasaan
saya menjadi lebih jelas dan saya memilih sisi kanan untuk tidak berpacaran. 😆
Berikut ini juga ada teori
oleh Robert J. Sternberg tentang “The Triangular Theory of Love” tapi bukan
tentang cinta segitiga 😅, melainkan tiga komponen dalam cinta:
- Lust (hawa nafsu)
- Intimacy (keintiman)
- Commitment (komitmen)
Kalau kamu hanya
memiliki satu komponen, yaitu hawa nafsu. Artinya kamu “Infatuasi” atau dalam
hubungan berpasanganmu hanya sekadar nafsu belaka tanpa memikirkan komitmen dan
keintiman.
Kalau kamu hanya
memiliki satu komponen, yaitu keintiman. Artinya kamu Cuma naksir/suka sama
orang tersebut karena dekat.
Kalau kamu hanya
memiliki satu komponen, yaitu komitmen. Artinya cinta tersebut hanya kosong
belaka. Biasanya karena perjodohan.
Kalau kamu mempunyai dua
komponen, yaitu nafsu dan keintiman. Ini namanya cinta romantis. Biasanya
seperti orang pacaran yang belum tentu punya komitmen/keterikatan yang legal
dari badan hukum.
Kalau kamu mempunyai
dua komponen, yaitu nafsu dan komitmen. Ini namanya cinta buta. Biasanya cinta
yang didasari dengan ketertarikan fisik dan komitmen yang dilandasi dengan
hasrat menggebu tanpa keterikatan emosional.
Kalau kamu mempunyai
dua komponen, yaitu keintiman dan komitmen. Selamat, Anda terkena friendzone
a.k.a cinta pertemanan. Ini biasanya kalau misalkan pasangannya udah tua dan
ingin saling berbagi kasih sayang tanpa hasrat yang memadai.
Dan yang terakhir
ketika kamu mempunyai ketiga komponen tersebut, yaitu nafsu, keintiman, dan
komitmen. Selamat, cintamu sudah sempurna. Tinggal pertahankan dengan
komunikasi yang asertif, saling memaafkan, berbagi, dan memahami satu sama
lain.
Itu adalah teori of love
dari Robert J. Sternberg.
Karena cinta setiap
orang yang dirasakan berbeda. Tidak sedikit juga saya menemukan bahwa banyak orang untuk takut dalam jatuh cinta dikarenakan tidak yakin untuk bisa
menemukan seseorang yang sayang seperti orang tuanya.
Mungkin sampai sini dulu
aja pandangan saya mengenai “cinta” ini. Bagaimanapun perasaan yang dihadapi,
jangan lupa untuk tersadar dengan kehidupan saat ini dan tidak mengambil keputusan
saat sedang dibutakan.
Kalau kamu memiliki
pandangan lain tentang cinta, bisa ditulis didalam kolom komentar. Atau juga saran
topik bahasan lanjut yang ingin dibaca.
Terima kasih, jangan lupa bahagia! 😊 karena kebahagiaan cinta tidak ada jaminan untuk selamanya 😝
cinta memanglah bisa mengajarkan banyak sekali hal, dari yang sederhana sampai yang tidak biasa. tidak semua orang bisa mengerti akan cinta, tapi semua orang pasti pernah merasakan cinta, saya rasa tulisan blog ini bisa mencerahkan pandangan seseorang akan cinta yang sesungguhnya. terimakasih, bro.
BalasHapus